2.3.09

Akankah Sejarah itu Berulang di sini....di Indonesia

Akankah Sejarah itu Berulang di sini....di Indonesia
Indonesia ini bangsa besar, penduduknya kurang lebih 230 juta sekarang, sama dengan total penduduk 22 negara arab jika dikumpulkan jadi satu. Jumlah penduduk dunia zaman Rasulullah hidup, kurang dari setengahnya dari penduduk Indonesia hari ini. Zaman Rasulullah hidup penduduk dunia hanya sekitar 100 juta orang total. Umat islam zaman Rasulullah yang masuk islam, yang ikut hajatul wada hanya 100 ribu orang. Tapi apa yang terjadi dengan bangsa yang besar ini? Tak perlu waktu cukup lama bagi kita untuk melihat pergesaran nilai di masyarakat. Banyak tabu yang kini menjadi tontonan gratis di etalase-etalase media, banyak candu yang menjadi konsumsi rutin sebagian generasi akhir bangsa ini, sehingga mereka tampak berdiri tegak, namun dengan pondasi yang rapuh, lalu ukuran dan nilai hakiki pun berubah menggunakan timbangan semu sekilas pintas berdasar neraca dunia semata. Pergeseran itu bergerak cepat! karena saat ini kita hanya menjadi pecundang dalam perang pemikiran yang telah berlangsung dan akan terus berlangsung sepanjang masa. Pada gilirannya semua berbuah multi krisis, diantaranya adalah krisis aqidah, krisis persaudaraan, krisis orientasi sosial, dan krisis identitas, yang boleh jadi adalah akar dari krisis yang menghantam bangsa hari ini

Mengurai krisis identitas salah satunya caranya adalah mendekatkan kembali umat pada role model dari kisah emas para pemimpinnya. Rasulullah SAW dan Umar bin Abdul Aziz ra. adalah sampel dari sekian banyak mutiara-mutiara kisah kepemimpinan yang telah berhasil memimpin umatnya hingga mengakar serta dicintai. Membaca kisah-kisah mereka niscaya akan mengetuk dinding jiwa kita.

Saya tak bicara soal taktis strategis keduanya dalam memecahkan masalah pada zamannya, karena tak ada yang perlu diperdebatkan dari kualitas kepemimpinan generasi emas itu ketika dunia telah mengakuinya. Tapi saya bicara mentalitas yang sama diantara kedua pemimpin besar itu.

Suatu ketika ada seseorang yang datang menghadap rasulullah dengan gemetaran, lalu beliau bersabda :

"Tenanglah! Aku bukan seorang raja, Sesungguhnya aku hanyalah putra seorang perempuan Quraisy yang biasa memakan daging kering." (Al Bidayah, IV; 293).Betapa sering beliau harus mengklarifikasi hal ini, bahwa tugas beliau adalah kenabian. “saya bukan raja”, “saya bukan kaisar!!”. Kalaulah beliau ingin hidup seperti raja-raja di istana, sesungguhnya bukanlah hal yang sulit, karena pintu-pintu dunia telah terbuka untuknya, tapi beliau mengatakan Aku bukan Kisra (kaisar/raja)…

Dosa-dosa telah Allah hapus darinya, namun tak juga menyurutkan beliau melakukan sholat malam hingga bengkak-bengkak kakinya, seakan-akan beliau sangat takut jika amalnya tidak cukup menghantarkannya ke Surga. lalu mengatakan tidak bolehkan aku bersyukur? sebuah pertanyaan retoris yang kita sudah sama-sama tau jawabannya.. .

Tidur diatas tikar kasar hingga berbekas di tubunya tak mengurangi kemuliannya sebagai Nabi sekaligus pemimpin negara, Mengganjal perut dengan batu untuk menahan lapar karena jatah makannya telah diberikan pada orang yang datang kerumahNya menunjukan kedalamannya dalam memuliakan seseorang, dan memanggil-manggil umatnya ketika sakaratul maut datang menjemputnya, “umatku…umatku… umatku…” adalah ekspresi cintanya yang terdalam, menembus batas waktu sejak abad ke-7 hingga hari ini ditahun ini 2009, karena pesannya adalah ekpresi cintanya, dan ekspresi cinta itu tak mengkhususkan untuk satu zaman saja.

Ah…telaga cinta beliau terlalu luas untuk dilukiskan..

Ini dia Bapak Reformasi Dunia…merubah peta politik, ekonomi, social masyarakatnya hanya dalam waktu 2,5 tahun. Umar bin Abdul Aziz lahir diantara gaya hidup mewah Bani Umayyah yang korup dan boros, karena itu pula alasan mengapa beliau tak cukup percaya diri untuk mejadi khalifah menggantikan Abdul Malik bin Marwan. Ketika akhirnya umar menerima jabatan khalifah, ia mengatakan kepada seorang ulama yang duduk disampingnya, Az-Zuhri, “Aku benar-benar takut pada neraka” Dan sebuah rangkaian cerita yang mengharu biru pun telah dimulai saat itu, dari ketakutannya pada neraka, maka tidak butuh waktu lama untuk Umar bin Abdul Aziz mereformasi total negerinya, hanya dalam waktu 2,5 tahun beliau memerintah namun fakta sejarah telah mengharumkan namanya ketika keadilan telah ditegakkan dan kemakmuran telah diraih.“kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadi Mu ke kas Negara, atau kita bercerai” ungkapnya pada fatimah istri beliau di awal-awal kepemimpinannya

“dalam kepentingan apa engkau menemuiku?”, “dalam urusan pribadi”. Seketika umar mematikan lentera diruang kerjanya, Jawabnya “lentera ini disediakan untuk kepentingan kerjaku sebagai seorang khalifah”.

Akankah terulang kondisi ketika para amil zakat berkeliling perkampungan- perkampungan afrika, tapi mereka tidak menemukan seorang pun yang mau menerima zakat. Negara benar-benar mengalami surplus, bahkan sampai ketingkat dimana utang-utang pribadi dan biaya pernikahan warga pun ditanggung oleh Negara. “tidak ada lagi mustahiq yang pantas menerima zakat ini, selain anda wahai khalifah” tutur bendahara baitul mal.

Sungguh takkan lekang kisah mereka karena mereka memimpin diatas perasaan takut dan gelisah…
Akankah sejarah itu berulang di sini..di Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar